AKSARA INCUNG
Untuk mengenal kembali karya peradaban suku Kerinci masa silam, harus dimulai dari mana asal mulanya aksara Incung secara historis, aksara yang dipergunakan masyarakat Kerinci zaman dahulu tentang penggambaran simbol aksara. Dalam penyebarannya secara politis dan kebudayaan masyarakat Kerinci erat hubungannya dengan Sumatera Barat dan Sumatera Selatan dimasukkan ke dalam kepustakaan Sumatera Selatan yang disusun oleh Helfrich dan Wellan dan diterbitkan oleh Zuid- Sumatra Instituut (Institut Sumatera Selatan)” . Dalam penyebaran aksara, Incung dekat dengan aksara Batak, Rejang dan Lampung, Madagaskar, Filipina. AksaraIncung adalah salah satu aksara tradisional yang ada di Indonesia. Bagi masyarakat Kerinci, Aksara ini sangat dikeramatkan dan dianggap sakral karena diyakini berasal dari latar belakang perwujudan budaya alam, manusia, dan ketuhanan. Aksara Incung ditulis di atas benda-benda yang di keramatkan, seperti tanduk kerbau, bambu, kulit kayu, kain, dan kertas.
Secara Historis aksara Incung suatu bukti ditemukannya naskah-naskah kuno berumur lebih dari dua ratus tahun. Naskah kuno beraksara incung (Ka-Ga-Nga ) yang sampai saat ini masih disimpan oleh orang Kerinci, tepatnya sejak zaman sesudah adanya prasasti Sriwijaya abad ke 7 di Karang Berahi (Kabupaten Merangin) bertulisan Pallawa Bahasa yang dipakai dalam penulisan naskah-naskah tersebut adalah bahasa Kerinci Kuno yaitu bahasa lingua franca. Ditinjau dari persebaran bangsa: Kerinci termasuk bangsa Austronesia dengan penuturan bahasa yang didahului bunyi sengau. Ada tujuh naskah surat incung di dalam perpustakaan atau museum di dalam ( perpusnas ) maupun di luar negeri (Tropenmuseum Amsterdam)Tokoh Adat/budayawan Kota Sungai Penuh,Kerinci Depati.H.Amiruddin Gusti (wawancara “ 7-10 Oktober 2010 ) menjelaskan Aksara Ka-Ga-Nga oleh masyarakat luas di alam Kerinci di kenal sebagai aksara Rencong atau Incung Kerinci, Penyebutan Ka-Ga-Nga adalah istilah yang diperkenalkan oleh para ahli /peneliti aksara Incung, hal ini mengingat aksara incung di mulai dari huruf Ka – Ga – Nga,( istilah ini belum ada ditemui dalam naskah Kerinci ). Biasanya masyarakat adat menyebutkan sebagai surat i<n>cun(g), surat incung, atau surat<n>cun(g> jawa. Tambahan “Jawa” yang diberikan kepada aksara tersebut bukan berarti aksara tersebut berasal dari Jawa melainkan hanya diberi agar namanya kedengaran lebih berwibawa.
Secara Geografis Kerinci terletak di daerah pegunungan sehingga kurang terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh asing yang dibawa dari seberang lautan dan secara lambat merembet dari pesisir ke pedalaman. Salah satu pengaruh budaya asing adalah masuknya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam bersebar pula tulisan Arab yang di Melayu terkenal sebagai tulisan Jawi. Aksara “Arab gundul” tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatra asli yang kemudian hilang sama sekali. Karena daerah-daerah yang disebut di atas berada di pedalaman dan agak terpencil, maka pengaruh Islam baru dirasakan pada abad ke-19 sehingga aksara asli masih dapat bertahan sampai pada abad ke-20.
Pada hakekatnya aksara Incung bahagian dari sastra Indonesia Lama, karena naskah Incung Kerinci ditulis berbahasa Melayu. Dalam naskah itu, diantaranya banyak terdapat kata-kata dan ungkapan yang sulit untuk dimengerti bila dihubungkan dengan bahasa Kerinci yang digunakan oleh masyarakat sekarang, karena bahasa tersebut tidak menurut dialek desa tempatan yang ada di Kabupaten Kerinci. Namun walaupun demikian, jika disimak secara seksama isi naskah pada tulisan Incung, orang masih dapat menangkap maksud dan makna yang terkandung didalamnya. Dalam naskah tersebut kita temui kata-kata yang tidak lazim pada dialek penyebaran orang-orang Melayu yang bermukim di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Perbedaannya berakar dari latar belakang bahwa induk suku Kerinci berasal dari Proto Melayu, dan dari sisi lain proses perjalanan sejarah orang Kerinci tentu berbeda dengan daerah Melayu lainnya, karena pemakaian aksara maupun fonetis bahasanya mendapat pengaruh lingkungan alam dan budaya lokal Kerinci. Aksara adalah sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran dan jenis sistem tanda grafis tertentu; misal aksara Pallawa, aksara suku Inka.
Menurut DR.P.Voorhove yang merupakan peneliti dari Belanda, yang menuliskan hasil penelitiannya yaitu naskah kerinci pada tahun 1941 mengatakan bahwa aksara incung masih digunakan oleh masyarakat suku Kerinci hinga tahun 1825, akan tetapi memasuki abad 20 sampai saat ini tersisa hanya beberapa orang memahami aksara incung Kerinci. Berdasarkan hasil penelitian Dr.P.Voorhoeve di Kerinci terdapat 271 naskah kuno dan 158 di antaranya ditulis dengan aksara incung yang ditulis di berbagai media, dengan rincian Aksara Incung yang di tulis pada tanduk sebanyak 82 potong, pada ruas buluh sebanyak 59 ruas, Pada kertas sebanyak 13 lembar, pada tulang sebanyak 1 lembar, aksara Incung yang di tulis pada kulit kayu sebanyak 2 potong, dan pada tapak gajah sebanyak 1potong. Kerinci tidak hanya memiliki aksara incung yang telah diciptakan nenek moyang berabad-abad yang lalu tetapi juga aksara Pallawa pada kitab Undang-undang
melayu tertua di dunia yang dituliskan pada daun daluang di desa Tanjung Tanah.
Aksara Incung digunakan sesudah aksara Pallawa yang dikenalkan oleh bangsa melayu Sumatera. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya naskah kuno pada penelitian Uli kozok. Penelitian yang dilakukannya di tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Belanda, filolog Dr Uli Kozok menyimpulkan bahwa naskah Melayu tertua ada di Kerinci, tepatnya di Desa Tanjung Tanah yang berusia jauh lebih tua 200 tahun dibanding dengan naskah surat Raja Ternate yang sebelumnya dinyatakan sebagai naskah melayu tertua di dunia. Naskah kitab undang-undang Tanjung Tanah diperkirakan dikeluarkan pada abad 14.
Aksara Incung yang dikreasikan ke perhiasan 'Bros' oleh Dekranasda Provinsi Jambi, yang pernah meraih juara 1 Mutumanikam tahun 2009 dan masuk perhiasan terbaik ASIA Tenggara di Singapura.
Aksara Incung digunakan sesudah aksara Pallawa yang dikenalkan oleh bangsa melayu Sumatera. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya naskah kuno pada penelitian Uli kozok. Penelitian yang dilakukannya di tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Belanda, filolog Dr Uli Kozok menyimpulkan bahwa naskah Melayu tertua ada di Kerinci, tepatnya di Desa Tanjung Tanah yang berusia jauh lebih tua 200 tahun dibanding dengan naskah surat Raja Ternate yang sebelumnya dinyatakan sebagai naskah melayu tertua di dunia. Naskah kitab undang-undang Tanjung Tanah diperkirakan dikeluarkan pada abad 14.
Aksara Incung yang dikreasikan ke perhiasan 'Bros' oleh Dekranasda Provinsi Jambi, yang pernah meraih juara 1 Mutumanikam tahun 2009 dan masuk perhiasan terbaik ASIA Tenggara di Singapura.